Sabtu, 28 Juni 2014

Bagaimana Puasa Mampu Mengendalikan Emosi

Bagaimana Puasa Mampu Mengendalikan Emosi

Ary Ginanjar | Salah satu fungsi puasa adalah sebagai pelatihan mengendalikan emosi dan suasana hati. Suasana hati bisa sangat berkuasa atas pikiran dan tindakan seseorang. Bila sedang marah, kita akan mudah untuk mengingat hal-hal atau kejadian-kejadian yang memunculkan dendam. Kadang, kita mencari obyek untuk melampiaskan kemarahan kita, atau menjadi mudah tersinggung dan mencari-cari alasan sebagai pembenaran kebencian. Puasa melatih kita untuk menolak dan menyingkirkan pikiran negatif yang muncul akibat rasa marah yang tak terkendali. Kita bisa tetap berpikir jernih, bertindak secara positif dan tetap produktif.
Bagaimana Puasa mengendalikan emosi
Tips dari Ary Ginanjar Bagaimana Puasa mengendalikan emosi
Ketika kemarahan memuncak, suasana hati sering kali bergolak tak terkendali. Akibatnya, persoalan kecil yang biasanya tidak menimbulkan masalah apa-apa, akan berubah menjadi persoalan serius yang sangat mengesalkan hati dan membuat kita sangat resah atau gusar. Bahkan, sebuah kancing baju yang lepas ketika akan berangkat kerja, saat kita gusar, akan membuat kita menjadi “gila.” Setelah meledak, barulah timbul penyesalan, tetapi terlambat karena ledakan itu telah terlontar dan mengenai orang lain, bisa mitra kerja kita atau orang yang kita sayangi. Puasa adalah upaya melatih diri untuk mengendalikan emosi seperti itu.
Berikut adalah peristiwa yang terjadi di jalan raya di Jakarta. Seorang pengendara mobil menyalip mobil lainnya, lalu menghentikannya persis di depan mobil tersebut, kemudian ia turun dari mobil dan memaki, “Goblok kamu!” sambil memukul kap mobil “Kamu belok tiba-tiba, tanpa memberi sign! Lihat ini, saya jadi menabrak trotoar!” Tetapi, pengendara yang disalip itu tidak langsung memperturutkan emosinya. Justru ia menjawab dengan tenang, “Baik, saya akan ganti, berapa biayanya?” sambil menyodorkan kartu namanya. Lalu ia berkata, “Mari datang ke kantor saya. Saya akan perbaiki dan saya akan ganti.” Ia tetap berbicara dengan tenang.
Si pemberang tersebut membaca sekilas kartu nama tersebut, yang tertulis adalah “Letnan Jenderal….” Seketika si pemberang tersebut pucat pasi. Dengan tenang sang jenderal berkata, “Jangan khawatir, saya bisa mengendalikan emosi diri saya.” Bisa dibayangkan apabila sang jenderal itu membiarkan dirinya ikut terbawa arus emosi. Semakin “tinggi” seseorang, semakin tinggi pula kemampuannya untuk mengendalikan emosi karena pengendalian diri adalah syarat mutlak untuk mencapai puncak prestasi. Prinsip untuk tetap tenang saat menghadapi provokasi atau tekanan, bermanfaat bagi siapa pun agar dapat bekerja dengan tenang dan produktif serta selalu mampu bekerja pada performa puncak.
Sebuah perusahaan konsultan luar negeri mengadakan penelitian tentang pengendalian emosi melalui jajak pendapat terhadap pejabat tinggi perusahaan sampai pekerja rendahan. Dalam penelitian tersebut diajukan pertanyaan kepada lebih dari 4.265 orang. Hasil penelitian tersebut adalah “Mereka semua mempunyai kekurangan dalam hal pengendalian impuls. Perusahaan konsultan yang juga melaksanakan studi tentang kemampuan menahan diri dalam berbagai profesi itu menganjurkan agar ketika memilih orang/karyawan untuk semua jenjang yang dibutuhkan, alangkah baiknya bila menolak calon-calon yang kurang memiliki kemampuan menahan diri.”
Sebuah studi terhadap sejumlah manajer di jenjang menengah dan atas menemukan bahwa mereka yang dinilai terbaik sebagai “komunikator” adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk bersikap tenang, terkendali, sabar, dan tidak peduli akan badai emosi yang tengah mereka alami. Mereka mampu mengenyampingkan dorongan yang timbul dari perasaan mereka sendiri, bahkan ketika permasalahan sedang bergolak. Mereka adalah orang-orang yang dapat memfokuskan diri sepenuhnya kepada orang lain, atau masalah yang sedang dihadapi. Hasilnya, mereka mampu memanfaatkan waktu yang tersedia untuk menghimpun informasi penting dan mencari cara agar dapat menolong, serta memberikan umpan balik yang konstruktif.
“(Yaitu) orang yang menafkahkan hartanya dalam (waktu) senang ataupun dalam kesukaran, (orang) yang menahan kemarahan, dan memberi maaf kepada orang. Allah cinta orang yang berbuat kebaikan.”
QS Ali ‘Imran (Keluarga ‘Imran) 3:134

Tidak ada komentar:

Posting Komentar