Biografi Buya Hamka: Ulama Otodidak
Hamka (1908 – 1981) adalah akronim dari Haji Abdul Malik bin Abdul Karim
Amrullah. Ia adalah seorang ulama, aktivis politik, dan penulis
Indonesia yang terkenal di nusantara. Hamka lahir pada 17 Februari 1908
di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat. Ayahnya bernama Syekh Abdul
Karim bin Amrullah atau dikenal sebagai Haji Rasul, seorang pelopor
Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau. Belakangan, Hamka mendapat
sebutan Buya, panggilan untuk orang Minang yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.
Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau hingga kelas dua. Ketika berusia 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatra Thawalib
di Padang Panjang. Di sana, ia mempelajari agama dan mendalami bahasa
Arab. Hamka juga pernah mengikuti pelajaran agama dari ulama terkenal,
seperti Syekh Ibrahim Musa, Syekh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M.
Surjopranoto, dan Ki Bagus Hadikusumo.
Pada 1927, Hamka bekerja sebagai guru agama di Perkebunan Tebing Tinggi,
Medan. Lalu, pada 1929 ia menjadi guru agama di Padang Panjang.
Kemudian, ia dilantik menjadi dosen Universitas Islam Jakarta dan
Universitas Muhammadiyah Padang Panjang dari tahun 1957 – 1958. Setelah
itu, ia diangkat menjadi Rektor Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan
Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.
Sejak 1951 hingga 1960, ia diangkat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh
Menteri Agama Indonesia. Namun, ia meletakkan jabatan itu. Ketika itu,
Soekarno menyuruh ia untuk memilih menjadi pegawai negeri atau aktif
dalam Masyumi.
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai ilmu pengetahuan, baik dari
sisi Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi,
ia mampu meneliti karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah,
Misalnya, Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa
al-Manfaluti, dan Husain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, ia meneliti
karya sarjana Perancis, Inggris, dan Jerman. Misalnya, Albert Camus,
William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl
Marx, dan Pierre Loti. Ia juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran
dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta. Misalnya, HOS. Tjokroaminoto, Raden
Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur, dan Ki Bagus
Hadikusumo.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui oraganisasi Muhammadiyah.
Ia mengikuti pendidikan Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan
khurafat, bid’ah, tarekat, dan kebatinan sesat di Padang Panjang.
Tahun 1928, ia menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada
tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah. Dua
tahun kemudian, ia menjadi konsultan Muhammadiyah di Makassar. Kemudian,
ia juga terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera
Barat oleh Konferensi Muhammadiyah. Ia menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto
pada 1946.
Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi Ketua Barisan Pertahanan
Nasional Indonesia. Pada 1953, Hamka terpilih sebagai Penasihat Pimpinan
Pusat Muhammadiyah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof.
Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia.
Namun, pada 1981 ia meletakkan jabatan tersebut karena nasihatnya tidak
dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Dari 1964 hingga 1966, Hamka selalu dipenjarakan oleh Presiden Soekarno. Ia dituduh pro-Malaysia. Selama di penjara, ia menulis Tafsir Al-Azhar
yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara,
ia diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional
Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia, dan anggota
Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik. Hamka juga seorang
wartawan, penulis, dan editor. Sejak 1920-an, ia menjadi wartawan
beberapa surat kabar, seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada 1928, ia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada 1932, ia menerbitkan majalah Al-Mahdi di Makasar. Ia juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif, seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir Al-Azhar
(5 jilid). Di antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan
menjadi buku teks sastra di Malaysia dan Singapura adalah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Merantau ke Deli.
Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan
antarabangsa, seperti kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas
Al-Azhar pada 1958, Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan
Malaysia pada 1974, dan gelar Datuk Indono dan Pangeran Wiroguno dari
pemerintah Indonesia.
Hamka wafat pada 24 Juli 1981. Jasa dan pengaruh Hamka masih tersisa
hingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Ia bukan saja diterima
sebagai tokoh, ulama, sastrawan di tanah kelahirannya. Jasa Hamka juga
dikenal di Malaysia dan Singapura.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar