Aka Cholik Darlin SPdI SH MM ( Consultants AAFN )
Aksi unjuk rasa sedang marak terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Sejak Reformasi Terhitung hanya dalam waktu empat bulan, dua demonstrasi besar terjadi di Jakarta. Setelah tanggal 22 Mei, 24 ia September lalu ibu kota negara kembali membara Sampai Tahun 2019 Yang kita tahu Demo PA 212 dll
Pemicunya adalah Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP), yang berisi banyak pasal kontroversial. Demo menolak RUU KUHP ini juga akumulasi penyampaian aspirasi terhadap kebijakan pemerintah lainnya, seperti pengesahan revisi UU KPK, RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual), dan RUU Pertanahan.
Berunjuk rasa atau berdemonstrasi memang tidak dilarang di Indonesia. Namun perlu diketahui aksi mengungkapkan ekspresi di muka publik ini memiliki aturan tersendiri, dan sudah diatur dalam Undang-Undang.
Perkapolri 7/2012 menyebutkan, sebelum melakukan aksi demo perwakilan massa harus menyampaikan pemberitahuan tertulis ke satuan Polri sesuai dengan tingkat kewenangannya. Hanya pemberitahuan saja bukan izin, karena Kepolisian tidak berwenang menolak aksi unjuk rasa, kecuali bertentangan dengan Undang-Undang.
Pemberitahuan ke Mabes Polri, apabila massa peserta aksi berasal dari beberapa wilayah provinsi dan aksi dilakukan di satu wilayah provinsi atau lintas provinsi.
Pemberitahuan ke Polres, apabila massa peserta aksi berasal dari beberapa kecamatan dan aksi dilakukan dalam lingkup wilayah kabupaten/kota setempat; dan
Pemberitahuan ke Polsek, apabila massa peserta aksi berasal dari satu wilayah kecamatan dan aksi dilakukan di lingkup wilayah kecamatan setempat.
Kemudian UU no. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menyebutkan pemberitahuan diberikan paling lambat 3x24 jam sebelum aksi digelar. Surat pemberitahuan berisi maksud dan tujuan, tempat, lokasi, dan rute, waktu dan lama, bentuk, penanggungjawab, nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan, alat peraga yang dipergunakan; dan atau jumlah peserta.
Jumlah peserta akan menentukan jumlah penanggungjawab di kelompok tersebut. Setiap 100 orang peserta harus ada 1-5 orang penanggungjawab.
Tugas Kepolisan setelah menerima surat pemberitahuan adalah berkoordinasi dengan penanggungjawab penyampaian pendapat di muka umum, berkoordinasi dengan pimpinan instansi/lembaga yang akan menjadi tujuan penyampaian pendapat, dan mempersiapkan pengamanan tempat, lokasi, juga rute.
Jika unjuk rasa hendak dibatalkan, penanggungjawab harus menyampaikan secara tertulis pada Polri selambat-lambatnya 24 jam sebelum waktu pelaksanaan unjuk rasa.
Tempat pelaksanaan unjuk rasa juga diatur dalam UU no. 9 Tahun 1998. Tempat-tempat yang tidak diperbolehkan dituju sebagai lokasi unjuk rasa adalah di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional, dalam radius kurang dari 150 meter dari pagar luar.
Untuk waktu pelaksanaannya, UU no. 9 Tahun 1998 membatasi demonstrasi dilakukan pada jam 06.00-18.00 di tempat terbuka, dan 06.00-22.00 di lokasi tertutup. Juga tidak diperbolehkan melakukan demo di hari besar nasional.
Tidak semua demo diperbolehkan
Walau aksi unjuk rasa diizinkan oleh Undang-Undang dan dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang, tapi tidak semua demo boleh dilakukan.
Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 20212 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum, mencantumkan jenis-jenis demo yang dilarang, yaitu:
Demo yang dilakukan dengan cara:
Menyatakan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia;
Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
Menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau lukisan di muka umum yang mengandung pernyataan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongangolongan rakyat Indonesia;
Lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana atau kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti ketentuan Undang-Undang maupun perintah jabatan;
Menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan yang menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, menentang penguasa umum dengan kekerasan
Sanksi jika melanggar
Undang-Undang juga mencantumkan pasal-pasal yang harus dicermati para demonstran, agar tidak terkena sanksi akibat melanggar peraturan.
Berdasarkan Pasal 15 UU No. 9 Tahun 1998, sanksi terhadap pelanggaran tata cara yang disebutkan di atas adalah pembubaran.
Berdasarkan Pasal 16 UU No. 9 Tahun 1998, pelaku atau peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan perbuatan melanggar hukum, dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal ini dikenakan ke pelanggar jika terjadi perbuatan yang melanggar hukum seperti penganiayaan, pengeroyokan, perusakan barang, dan kematian.
Berdasarkan Pasal 17 UU No. 9 Tahun 1998, Penanggungjawab pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku, ditambah dengan satu per tiga dari pidana pokok. Terdapat pemberatan hukuman terhadap penanggungjawab yang melakukan tindak pidana.
Berdasarkan Pasal 18 UU No. 9 Tahun 1998, setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Unjuk rasa memang diperlukan, tapi jangan sampai menggoyahkan persatuan. Demonstasi memang perlu dilakukan, tapi jangan sampai membahayakan keamanan. Jadilah demonstan yang paham aturan, jangan asal ikut demo lalu bikin kerusuhan.