Bagaimana Puasa Mampu Mengendalikan Emosi
Ary Ginanjar |
Salah satu fungsi puasa adalah sebagai pelatihan mengendalikan emosi
dan suasana hati. Suasana hati bisa sangat berkuasa atas pikiran dan
tindakan seseorang. Bila sedang marah, kita akan mudah untuk mengingat
hal-hal atau kejadian-kejadian yang memunculkan dendam. Kadang, kita
mencari obyek untuk melampiaskan kemarahan kita, atau menjadi mudah
tersinggung dan mencari-cari alasan sebagai pembenaran kebencian. Puasa
melatih kita untuk menolak dan menyingkirkan pikiran negatif yang muncul
akibat rasa marah yang tak terkendali. Kita bisa tetap berpikir jernih,
bertindak secara positif dan tetap produktif.
Ketika kemarahan memuncak, suasana hati
sering kali bergolak tak terkendali. Akibatnya, persoalan kecil yang
biasanya tidak menimbulkan masalah apa-apa, akan berubah menjadi
persoalan serius yang sangat mengesalkan hati dan membuat kita sangat
resah atau gusar. Bahkan, sebuah kancing baju yang lepas ketika akan
berangkat kerja, saat kita gusar, akan membuat kita menjadi “gila.”
Setelah meledak, barulah timbul penyesalan, tetapi terlambat karena
ledakan itu telah terlontar dan mengenai orang lain, bisa mitra kerja
kita atau orang yang kita sayangi. Puasa adalah upaya melatih diri untuk mengendalikan emosi seperti itu.
Berikut adalah peristiwa yang terjadi di
jalan raya di Jakarta. Seorang pengendara mobil menyalip mobil lainnya,
lalu menghentikannya persis di depan mobil tersebut, kemudian ia turun
dari mobil dan memaki, “Goblok kamu!” sambil memukul kap mobil “Kamu belok tiba-tiba, tanpa memberi sign! Lihat ini, saya jadi menabrak trotoar!” Tetapi, pengendara yang disalip itu tidak langsung memperturutkan emosinya. Justru ia menjawab dengan tenang, “Baik, saya akan ganti, berapa biayanya?”
sambil menyodorkan kartu namanya. Lalu ia berkata, “Mari datang ke
kantor saya. Saya akan perbaiki dan saya akan ganti.” Ia tetap berbicara
dengan tenang.
Si pemberang tersebut membaca sekilas kartu nama tersebut, yang tertulis adalah “Letnan Jenderal….” Seketika si pemberang tersebut pucat pasi. Dengan tenang sang jenderal berkata, “Jangan khawatir, saya bisa mengendalikan emosi diri saya.” Bisa dibayangkan apabila sang jenderal itu membiarkan dirinya ikut terbawa arus emosi. Semakin “tinggi”
seseorang, semakin tinggi pula kemampuannya untuk mengendalikan emosi
karena pengendalian diri adalah syarat mutlak untuk mencapai puncak
prestasi. Prinsip untuk tetap tenang saat menghadapi provokasi atau
tekanan, bermanfaat bagi siapa pun agar dapat bekerja dengan tenang dan
produktif serta selalu mampu bekerja pada performa puncak.
Sebuah perusahaan konsultan luar negeri mengadakan penelitian tentang pengendalian emosi
melalui jajak pendapat terhadap pejabat tinggi perusahaan sampai
pekerja rendahan. Dalam penelitian tersebut diajukan pertanyaan kepada
lebih dari 4.265 orang. Hasil penelitian tersebut adalah “Mereka
semua mempunyai kekurangan dalam hal pengendalian impuls. Perusahaan
konsultan yang juga melaksanakan studi tentang kemampuan menahan diri
dalam berbagai profesi itu menganjurkan agar ketika memilih
orang/karyawan untuk semua jenjang yang dibutuhkan, alangkah baiknya
bila menolak calon-calon yang kurang memiliki kemampuan menahan diri.”
Sebuah studi terhadap sejumlah manajer di jenjang menengah dan atas menemukan bahwa mereka yang dinilai terbaik sebagai “komunikator”
adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk bersikap tenang,
terkendali, sabar, dan tidak peduli akan badai emosi yang tengah mereka
alami. Mereka mampu mengenyampingkan dorongan yang timbul dari perasaan
mereka sendiri, bahkan ketika permasalahan sedang bergolak. Mereka
adalah orang-orang yang dapat memfokuskan diri sepenuhnya kepada orang
lain, atau masalah yang sedang dihadapi. Hasilnya, mereka mampu
memanfaatkan waktu yang tersedia untuk menghimpun informasi penting dan
mencari cara agar dapat menolong, serta memberikan umpan balik yang konstruktif.
“(Yaitu) orang yang menafkahkan
hartanya dalam (waktu) senang ataupun dalam kesukaran, (orang) yang
menahan kemarahan, dan memberi maaf kepada orang. Allah cinta orang yang
berbuat kebaikan.”
QS Ali ‘Imran (Keluarga ‘Imran) 3:134
QS Ali ‘Imran (Keluarga ‘Imran) 3:134