HAK-HAK SUAMI ATAS ISTRI
|
Aka Cholik , Pantai Brigade Bandar Lampung 2011 |
Agama Islam
adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Allah Ta'ala cocok dengan
fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala menyuruh manusia
menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan
penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fitrahnya.
Perkawinan
adalah fithrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk
nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan).
Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan,
maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke
lembah hitam. Firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah) ; (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus ; tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui". [Ar-Ruum : 30].
Pernikahan ditujukan untuk bisa mengambil kenikmatan (satu sama
lainnya) dan untuk membina rumah tangga yang shalihah serta masyarakat
yang baik. Oleh karena itu maka wanita yang ideal untuk dinikahi ialah
wanita yang diharapkan nantinya dapat mewujudkan kedua tujuan tersebut
dengan sempurna yaitu wanita yang disifati dengan kecantikan paras
secara fisik dan maknawi.
Maka wanita yang cantik parasnya adalah
wanita yang sempurna fisiknya, karena seorang wanita itu jika dia
cantik saat dipandang, lembut tutur katanya, maka matapun manjadi sejuk
untuk memandanginya dan telingapun tenteram mendengarkan tutur katanya,
sehingga hatipun terbuka untuknya dan dada menjadi lapang menerimanya
serta jiwapun tenteram bersamanya dan terwujudlah apa yang difirmankan
Allah Subhaanahu wa Ta’ala :
“Dan diantara tanda-tanda
kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang" (QS. Ar Rum : 21)
Kecantikan
maknawi yaitu kesempurnaan agama dan akhlak, sehingga manakala wanita
tersebut adalah wanita yang taat beragama dan berakhlak mulia maka dia
menjadi lebih dicintai oleh setiap jiwa dan lebih selamat akibatnya.
Maka wanita yang beragama, dia akan taat menjalani perintah Allah,
senantiasa menjaga hak-hak suami, rumah tangga serta anak-anak dan harta
suaminya. Senantiasa membantu suami untuk menunaikan ketaatan kepada
Allah Subhaanahu wa Ta’ala di kala suami ingat kepadaNya. Jika suami
malas maka dia yang menyemangatinya, jika suami marah maka dia yang
membuatnya ridha. Sedangkan wanita yang berakhlak adalah wanita yang
memberikan belaian kasihnya kepada suami dan menghormatinya. Selalu
menyegerakan apa yang disukai suami dan tidak menunda-nunda sesuatu yang
disuka suami.
Dan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang wanita yang bagaimanakah yang baik? Maka beliau menjawab :
“Yaitu
wanita yang menyenangkan suami jika dipandang dan mentaati suami jika
diperintah dan tidak mengkhianati suami pada dirinya sendiri dan tidak
mengkhianati hartanya dengan sesuatu yang ia benci". (HR. Ahmad dan
Nasaai)
Ketahuilah bahwa seorang suami adalah pemimpin di dalam
rumah tangga, bagi isteri, juga bagi anak-anaknya, karena Allah telah
menjadikannya sebagai pemimpin. Allah memberi keutamaan bagi laki-laki
yang lebih besar daripada wanita, karena dialah yang berkewajiban
memberi nafkah kepada isterinya. Dan Allah Ta’ala berfirman:
“Laki-laki
(suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan
hartanya.” [An-Nisaa' : 34]
Oleh karena itu, suami mempunyai hak
atas isterinya yang harus senantiasa dipelihara, ditaati dan ditunaikan
oleh isteri dengan baik yang dengan itu ia akan masuk Surga.
Masing-masing dari suami maupun isteri memiliki hak dan kewajiban, namun suami mempunyai kelebihan atas isterinya.
Allah Ta’ala berfirman:
“Artinya
: Dan mereka (para wanita) memiliki hak seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang pantas. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas
mereka. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” [Al-Baqarah : 228]
Hak-hak Suami yang harus dipenuhi atas isterinya yaitu:
1. Mentaati apa yang diperintahkan suami.
Sang
isteri harus taat kepada suaminya dalam hal-hal yang ma’ruf (mengandung
kebaikan dalam agama). Misalnya ketika diajak untuk jima’ (bersetubuh) ,
diperintahkan untuk shalat, berpuasa, shadaqah, mengenakan busana
muslimah (jilbab yang syar’i), menghadiri majelis ilmu, dan
bentuk-bentuk perintah lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan
syari’at. Hal inilah yang justru akan mendatangkan Surga bagi dirinya,
seperti sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Artinya :
Apabila seorang isteri mengerjakan shalat yang lima waktu, berpuasa di
bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya (menjaga kehormatannya) , dan taat
kepada suaminya, niscaya ia akan masuk Surga dari pintu mana saja yang
dikehendakinya.” [2]
Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang sifat wanita penghuni Surga,
“Artinya
: Wanita-wanita kalian yang menjadi penghuni Surga adalah yang penuh
kasih sayang, banyak anak, dan banyak kembali (setia) kepada suaminya
yang apabila suaminya marah, ia mendatanginya dan meletakkan tangannya
di atas tangan suaminya dan berkata, ‘Aku tidak dapat tidur nyenyak
hingga engkau ridha.’” [Hadits hasan: Diriwayatkan oleh ath-Thabrani
dalam Mu’jamul Kabir (XIX/140, no. 307) dan Mu’jamul Ausath (VI/301, no.
5644), juga an-Nasa-i dalam Isyratun Nisaa' (no. 257). Hadits ini
dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahiihah (no. 287)]
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Pernah
ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Siapakah
wanita yang paling baik?” Maka beliau menjawab:
“Yang paling
menyenangkannya jika dilihat suaminya, dan mentaatinya jika dia
memerintahkannya, dan tidak menyelisihinya pada diri dan hartanya dengan
apa yang dibenci suaminya.” (HR. An-Nasai no. 3231 dan dinyatakan hasan
oleh Al-Albani dalam Al-Misykah no. 3272)
2. Isteri harus senantiasa di dalam rumah.
Isteri
Diperintahkan Untuk Tinggal Di Rumah Dan Mengurus Rumah Tangga Dengan
Baik.Perbuatan ihsan (baik) seorang suami harus dibalas pula dengan
perbuatan yang serupa atau yang lebih baik. Isteri harus berkhidmat
kepada suaminya dan menunaikan amanah mengurus anak-anaknya menurut
syari’at Islam yang mulia. Allah ‘Azza wa Jalla telah mewajibkan kepada
dirinya untuk mengurus suaminya, mengurus rumah tangganya, mengurus
anak-anaknya. Menurut ajaran Islam yang mulia, isteri tidak dituntut
atau tidak berkewajiban ikut keluar rumah mencari nafkah, akan tetapi ia
justru diperintahkan tinggal di rumah guna menunaikan
kewajiban-kewajiban yang telah dibebankan kepadanya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Artinya
: Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
(bertingkah laku) seperti orang-orang Jahiliyyah dahulu, dan
laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai
ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” [Al-Ahzaab : 33]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wanita
adalah aurat. Apabila ia keluar, syaitan akan menghiasinya dari
pandangan laki-laki.” [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no.
1173), dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu. Lihat
Shahiihul Jaami’ (no. 6690)].
3. Tidak menolak ajakan suami untuk ‘berhubungan’.
Dalam
masalah berhubungan suami isteri, jika sang isteri menolak ajakan
suaminya, maka ia akan dilaknat oleh Malaikat, sebagaimana Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya : Apabila
seorang suami mengajak isterinya ke tempat tidur (untuk
jima’/bersetubuh) dan si isteri menolaknya [sehingga (membuat) suaminya
murka], maka si isteri akan dilaknat oleh Malaikat hingga (waktu)
Shubuh.” [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3237, 5193,
5194), Muslim (no. 1436), Ahmad (II/255, 348, 386, 439, 468, 480, 519,
538), Abu Dawud (no. 2141) an-Nasa-i dalam ‘Isyratun Nisaa' (no. 84),
ad-Darimi (II/149-150) dan al-Baihaqi (VII/292), dari Shahabat Abu
Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.].
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Demi
Allah, yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seorang wanita tidak
akan bisa menunaikan hak Allah sebelum ia menunaikan hak suaminya.
Andaikan suami meminta dirinya padahal ia sedang berada di atas punggung
unta, maka ia (isteri) tetap tidak boleh menolak.” [Hadits shahih:
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 1853), Ahmad (IV/381), Ibnu Hibban
(no. 1290- al-Mawaarid) dari ‘Abdullah bin Abi Aufa radhiyallaahu ‘anhu.
Lihat Aadabuz Zifaaf (hal. 284).]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya
; Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnat) sedangkan suaminya ada
(tidak safar) kecuali dengan izinnya. Tidak boleh ia mengizinkan
seseorang memasuki rumahnya kecuali dengan izinnya dan apabila ia
menginfakkan harta dari usaha suaminya tanpa perintahnya, maka separuh
ganjarannya adalah untuk suaminya.” [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh
al-Bukhari (no. 5195), Muslim (no. 1026) dan Abu Dawud (no. 2458) dari
Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, dan lafazh ini milik Muslim.]
Dalam hadits ini ada tiga faedah, yang merupakan poin ke-4, 5 dan 6 dari pembahasan hak suami atas isteri:
4. Dilarang puasa sunnat kecuali dengan izin suami.
5. Tidak boleh mengizinkan orang lain masuk kecuali dengan izin suami.
6. Apabila seorang isteri infaq/shadaqah hendaknya dengan izin suami.
Dalam
hadits ini seorang isteri dilarang puasa sunnat tanpa izin dari suami.
Larangan ini adalah larangan haram, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam
an-Nawawi rahimahullaah.
Imam an-Nawawi berkata, “Hal ini karena
suami mempunyai hak untuk “bersenang-senang” dengan isterinya setiap
hari. Hak suami ini sekaligus merupakan kewajiban seorang isteri untuk
melayani suaminya setiap saat. Kewajiban tersebut tidak boleh diabaikan
dengan alasan melaksanakan amalan sunnah atau amalan wajib yang dapat
ditunda pelaksanaannya.” [Syarah Shahiih Muslim (VII/115).]
7. Berhidmat kepada suami dan memelihara anak-anaknya.
Semestinya
seorang istri membantu suaminya dalam kehidupannya. Hal ini telah
dicontohkan oleh istri-istri shalihah dari kalangan sahabiyah seperti
yang dilakukan Asma` bintu Abi Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallohu'anhu yang
berkhidmat kepada suaminya, Az-Zubair ibnul ‘Awwam Radhiyallohu'anhu. Ia
mengurusi hewan tunggangan suaminya, memberi makan dan minum kudanya,
menjahit dan menambal embernya, serta mengadon tepung untuk membuat kue.
Ia yang memikul biji-bijian dari tanah milik suaminya sementara jarak
tempat tinggalnya dengan tanah tersebut sekitar 2/3 farsakh7.” (HR.
Al-Bukhari no. 5224 dan Muslim no. 2182)
Demikian pula khidmat
Fathimah bintu Rasulullah sholallohu'alaihi wasallam di rumah suaminya,
Ali bin Abi Thalib Radhiyallohu'anhu. Sampai-sampai kedua tangannya
lecet karena menggiling gandum. (HR. Al-Bukhari no. 6318 dan Muslim no.
2727)
|
Aka Cholik, PLTU GHEMMI 2010 |
8. Memelihara Harta Suami dan kehormatannya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Artinya
: Barangsiapa yang menjaga kehormatan dirinya, maka Allah akan jaga
dirinya dan barangsiapa yang merasa cukup, maka Allah akan memberikan
kecukupan kepada dirinya.” [Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari
(no. 1427) dan Muslim (no. 1034).]
Serta hadits pada poin ke-6 di atas.
9.Disyukuri kebaikan yang diberikannya.
Seorang
istri harus pandai-pandai berterima kasih kepada suaminya atas semua
yang telah diberikan suaminya kepadanya. Bila tidak, si istri akan
berhadapan dengan ancaman neraka Allah ta'aala.
Seselesainya dari
Shalat Kusuf (Shalat Gerhana), Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda menceritakan surga dan neraka yang diperlihatkan kepada beliau
ketika shalat:
“Dan aku melihat neraka. Aku belum pernah sama
sekali melihat pemandangan seperti hari ini. Dan aku lihat ternyata
mayoritas penghuninya adalah para wanita.” Mereka bertanya, “Kenapa para
wanita menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau
menjawab, “Disebabkan kekufuran mereka *).” Ada yang bertanya kepada
beliau: “Apakah para wanita itu kufur kepada Allah?” Beliau menjawab:
“(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan
(suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka
pada suatu masa, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu
(yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata: ‘Aku sama
sekali belum pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. Al-Bukhari no. 5197
dan Muslim no. 2106)
Al-Qadhi Ibnul ‘Arabi Rahimahullah berkata:
“Dalam hadits ini disebutkan secara khusus dosa kufur/ingkar terhadap
suami di antara sekian dosa lainnya. Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam telah menyatakan: ‘Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang
untuk sujud kepada orang lain (sesama makluk) niscaya aku perintahkan
seorang istri untuk sujud kepada suaminya.’ Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam mengandaikan hak suami terhadap istri dengan hak Allah ta'aala
**), maka bila seorang istri mengkufuri/mengingkari hak suaminya,
sementara hak suami terhadapnya telah mencapai puncak yang sedemikian
besar, hal itu sebagai bukti istri tersebut meremehkan hak Allah ta’ala.
Karena itulah diberikan istilah kufur atas perbuatannya. Akan tetapi
kufurnya tidak sampai mengeluarkan dari agama.” (Fathul Bari, 1/106)
Dalam
kitab Ash-Shahihain disebutkan bahwa pada hari Idul Adha atau Idul
Fithri, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju lapangan
untuk melaksanakan shalat.Setelahnya beliau berkhutbah dan ketika
melewati para wanita beliau bersabda: “Wahai sekalian wanita,
bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar (meminta ampun) karena
sungguh diperlihatkan kepadaku mayoritas kalian adalah penghuni neraka.”
Salah seorang wanita yang hadir di tempat tersebut bertanya: “Apa
sebabnya kami menjadi mayoritas penghuni neraka, ya Rasulullah?” Beliau
menjawab: “Kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami. Aku
belum pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya namun dapat
menundukkan lelaki yang memiliki akal yang sempurna daripada kalian.”
Demikianlah,
wahai para istri yang shalihah, beberapa hak suami yang dapat kami
sebutkan. Tunaikanlah dengan sebaik-baiknya. Dan mohonlah pertolongan
Allah ta'aala untuk menunaikannya.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
*)
Yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kufur ashghar (kufur kecil)
yaitu kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari keimanan. Pelakunya
tetap seorang muslim. Namun karena dosa yang diperbuat, pantas
mendapatkan siksa di dalam neraka walaupun tidak kekal di dalamnya
sebagaimana pelaku kufur akbar (kufur besar). Kufur ini yang
diistilahkan kufrun duna kufrin.
Al-Qadhi Abu Bakr ibnul ‘Arabi
Rahimahullah berkata dalam syarahnya sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh
Ibnu Hajar Al-Asqalani Rahimahullah: “Maksud penulis (Al-Imam Al-Bukhari
Rahimahullah) membawakan hadits ini (seperti dalam kitab Al-Iman bab
Kufranil ‘Asyir wa Kufrin duna Kufrin) adalah untuk menerangkan bahwa
sebagaimana ketaatan diistilahkan dengan iman, maka demikian pula
perbuatan maksiat diistilahkan dengan kufur. Akan tetapi kufur yang
disebutkan dalam hadits ini bukan kufur yang mengeluarkan pelakunya dari
agama Islam.” (Fathul Bari, 1/106)
**) Maksudnya Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengandaikan bila boleh bersujud kepada
selain Allah l niscaya istri akan diperintah sujud kepada suaminya.
Namun mendapatkan sujud dari para hamba hanyalah merupakan hak Allah
ta’ala. Tidak ada satu pun makhluk-Nya yang berserikat dengan-Nya dalam
hak ini.
|
Aka Cholik , Bandung Tangkuban Perahu 2008 |